Sikap intoleransi di negeri ini
Kasus intoleransi
terus hadir di Bumi Nusantara akhir-akhir ini. Baru-baru ini, sejoli
asal Cikupa, Tangerang, menjadi korban intoleransi massa. Mereka dituduh
berbuat mesum, langsung diarak dan ditelanjangi. Massa yang ada saat
itu meminta pasangan ini mengaku telah berbuat mesum.
Sang pemuda yang berinisial R (28) menampik karena dia saat itu
mendatangi M (20) untuk membawakan makanan. Lalu, R ke kamar mandi untuk
gosok gigi.
Namun sayang seribu sayang, massa tak percaya alasan sejoli itu.
Massa tidak membawa pasangan ini ke pihak berwajib. Mereka malah
menelanjangi dan melakukan kekerasan fisik pada keduanya.
Setelah diperiksa polisi, rupanya pasangan tersebut memang bukan
pasangan mesum."Bukan pasangan mesum. Memang mau nikah," jelas
Kapolresta Tangerang AKBP Sabilul Alif.
Menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia di laman kbbi.web.id,
kata `intoleran` memiliki arti tidak tenggang rasa, tidak toleran.
Sementara kata `toleran` sendiri berarti, bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Rebutan kursi KRL dan penolakan pembangunan tempat ibadah
Lini
masa juga mencatat tindakan intoleransi lain yang terjadi pertengaan
tahun ini, tepatnya Juni 2017. Seorang wanita meluapkan kekesalannya di
media sosial karena dibangunkan oleh petugas Kereta Rel Listrik (KRL).
Dia harus rela berdiri agar kursi itu diberikan untuk ibu hamil.
Lewat unggahan status di Facebook, wanita ini mempertanyakan kenapa
ibu-ibu hamil berhak diberikan tempat duduk di KRL. Kenapa ibu hamil
juga menjadi prioritas, padahal dia juga penumpang. Padahal, telah ada
aturan jelas mengenai prioritas pengguna tempat duduk di KRL yang
dicantumkan di tiap dinding gerbong kereta.
Tak cuma itu, kasus intoleransi pembangunan rumah ibadah juga sering
hadir di Indonesia. Walau izin sudah ada, masih ada yang menolak
pembangunan rumah ibadah. Satu di antaranya penolakan pembangunan Gereja
Santa Clara di Jalan Lingkar Luar Bekasi Utara.
Penolakan atas pembangunan gereja itu sampai menimbulkan kericuhan.
Massa terus melempari polisi yang berjaga dengan batu, bambu, dan botol
air mineral. Beberapa kali, gas tembakan air mata juga dilontarkan
polisi untuk membubarkan massa.
"Kita tak ingin, daerah kita berdiri gereja yang tak berizin. Kita
tak akan bubar sebelum Wali Kota mencabut izin pembangunan Gereja," ujar
salah satu orator di atas mobil komando
Terkait kepribadian yang tidak kuat
Menanggapi
masih adanya intoleransi, terutama yang berbau agama dan ras, psikolog
klinis dewasa PION Clinician Rena Masri menilai ada faktor kepribadian
yang tidak kuat.
"Jadi, emang karakter kita enggak kuat. Gampang sekali terprovokasi. Emang tipikal karakter kita seperti itu," kata Rena saat dihubungi Health-Liputan6.com Rena mencontohkan misalnya saat mendengar ada seseorang yang hendak beribadah lalu dihalang-halangi. Salah satu reaksi yang muncul dari individu adalah marah atau langsung tersulut, bukannya berpikir secara jernih terlebih dahulu.
Menurut Rena, pendidikan awal di keluarga punya peran besar membuat seseorang jadi sosok toleran atau malah intoleran. Ketidakhadiran orangtua di awal perkembangan anak membuat mereka jadi sosok yang tidak secara sadar melakukan sesuatu. Hal ini membuat seseorang jadi mudah melakukan sesuatu yang tidak dipikirkan secara jernih, termasuk tindakan intoleran.
Oleh karena itu, Rena mengatakan pentingnya orangtua mengajari anak sejak kecil untuk berpikir dan berbicara dua arah.
"Orangtua tetap harus mendengarkan pendapat anak, kalau pendapat anak salah, coba komunikasikan lagi sampai dia memahami bahwa pilihannya mungkin tidak baik. Ketika orangtua menghargai pendapat anak, dia pun saat tumbuh besar akan menghargai pendapat orang lain," saran Rena.
"Jadi, emang karakter kita enggak kuat. Gampang sekali terprovokasi. Emang tipikal karakter kita seperti itu," kata Rena saat dihubungi Health-Liputan6.com Rena mencontohkan misalnya saat mendengar ada seseorang yang hendak beribadah lalu dihalang-halangi. Salah satu reaksi yang muncul dari individu adalah marah atau langsung tersulut, bukannya berpikir secara jernih terlebih dahulu.
Menurut Rena, pendidikan awal di keluarga punya peran besar membuat seseorang jadi sosok toleran atau malah intoleran. Ketidakhadiran orangtua di awal perkembangan anak membuat mereka jadi sosok yang tidak secara sadar melakukan sesuatu. Hal ini membuat seseorang jadi mudah melakukan sesuatu yang tidak dipikirkan secara jernih, termasuk tindakan intoleran.
Oleh karena itu, Rena mengatakan pentingnya orangtua mengajari anak sejak kecil untuk berpikir dan berbicara dua arah.
"Orangtua tetap harus mendengarkan pendapat anak, kalau pendapat anak salah, coba komunikasikan lagi sampai dia memahami bahwa pilihannya mungkin tidak baik. Ketika orangtua menghargai pendapat anak, dia pun saat tumbuh besar akan menghargai pendapat orang lain," saran Rena.
Post a Comment