ORGANISASI
PPP dalam LINTASAN SEJARAH
Partai Persatuan
Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi
politik empat partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama, Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
dan Partai Islam Perti. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu
partai yang mampu mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam.
Untuk itulah wajar jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah
Besar Umat Islam.”
PPP didirikan oleh lima
deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu
1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi
empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah;
* KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
* H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
* Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
* Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
* Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam
perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah
menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai
dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak
tahun 1984. Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan
asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima.
Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden
Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil Presiden
B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah.
Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.
Walau PPP kembali menjadikan Islam sebagai asas, PPP tetap berkomitemen
untuk mendukung keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 5 AD PPP yang ditetapkan dalam Muktamar VII Bandung 2011
bahwa: “Tujuan PPP adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil,
makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah rida
Allah Subhanahu Wata’ala.”
Ketua Umum DPP PPP
yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjabat
sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai tahun 1978. Selain jabatan Ketua
Umum pada awal berdirinya PPP juga mengenal presidium partai yang
terdiri dari KH.Idham Chalid sebagai Presiden Partai, H.Mohammad Syafaat
Mintaredja, SH, Drs.H.Th.M.Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur,
masing-masing sebagai Wakil Presiden.
Ketua Umum DPP PPP yang
kedua adalah H. Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama
tahun 1978 ketika H.Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai
diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro
terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.
Ketua Umum DPP PPP
yang ketiga adalah H. Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak
terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali
dalam Muktamar III tahun 1994.
Ketua Umum DPP PPP yang keempat
adalah H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan
kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V
tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian
Pusat DPP PPP, yang dipercayakan muktamar kepada mantan Sekjen DPP PPP,
H. Alimawarwan Hanan,SH.
Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah
H. Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 dengan
Sekretaris Jenderal H. Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum
dipercayakan oleh muktamar kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy. H.
Suryadharma Ali kemudian terpilih kembali menjadi Ketua Umum untuk Masa
Bakti 2011-2015 melalui Muktamar VII PPP 2011 di Bandung
PPP
sudah mengikuti sebanyak enam kali sejak tahun 1977 sampai pemilu
dipercepat tahun 1999 dengan hasil yang fluktuatif, turun naik.
1.Pada
Pemilu 1977 PPP meraih 18.745.565 suara atau 29,29 persen). Sedangkan
dari sisi perolehan kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen
dari 360 kursi yang diperebutkan.
2.Pada
Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.800 suara atau 27,78 persen. Dari
perolehan kursi, PPP mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364
kursi yang diperebutkan.
3.Pada
Pemilu 1987 PPP meraih 13.701.428 suara arau 15,97 persen. Sedangkan
dari perolehan kursi, PPP meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400
kursi yang diperebutkan.
4.Pada
Pemilu 1992 PPP meraih 16.624.647 suara atau 14,59 persen. Dari sisi
perolehan kursi PPP meraih 62 kursi atau 15,50 persen dari 400 kursi
yang diperebutkan.
5.Pada
Pemilu 1997 PPP meraih 25.340.018 suara. Sedangkan dari sisi perolehan
kursi, PPP meraih 89 kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi yang
diperebutkan.
6.Pada
Pemilu 1999 PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 persen. Dari sisi
perolehan kursi, PPP meraih 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi
yang diperebutkan.
7.Pada
Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764 atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan
kursi, PPP tetap meraih 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi yang
diperebutkan.
8.Pada
Pemilu 2009 PPP meraih 5,5 juta suara atau 32 persen. Dari sisi
perolehan kursi, PPP memperoleh 38 kursi dari 550 kursi yang
diperebutkan.
Daerah yang memberikan konstribusi perolehan kursi atau sebaliknya tidak memberikan konstribusi kursi bagi PPP adalah:
1.Pada
Pemilu 1977, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 84,62 persen dari
26 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah
Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
2.Pada
Pemilu 1982, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari
27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian
Jaya, dan Timur Timur.
3.Pada
Pemilu 1987, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari
27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian
Jaya, dan Timur Timur.
4.Pada
Pemilu 1992, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari
27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi adalah Jambi,
Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian
Jaya, dan Timor Timur.
5.Pada
Pemilu 1997, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari
27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah
Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur,
Irian Jaya, dan Timor Timur.
6.Pada
Pemilu dipercepat tahun 1999, PPP meraih kursi pada 24 provinsi atau
88,88 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi
bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya, dan Timur Timur.
7.Pada
Pemilu 2004, PPP meraih kursi pada 23 provinsi atau 69.69 persen dari
33 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah
Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara,
Irian Jaya Barat, dan Papua
Selama
Pemilu yang diselenggarakan pemerintahan otoriter Orde Baru, PPP selalu
berada dalam keadaan tertindas. Kader-kader PPP dengan segala alat
kekuasaan Orde Baru dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan
dianiaya. Kalau seniman, tokoh PPP itu tidak akan bisa “manggung” di
TVRI, satu-satu stasiun televisi yang dikontrol Pemerintah. Hal ini
dialami oleh H. Rhoma Irama, Bajuri yang kini dikenal Mat Solar Sopir
Bajaj, dan lain-lain. Selama masa Orde Baru banyak kader-kader PPP
terutama di daerah yang ditembak, dipukul, dan malah ada yang dibunuh.
Saksi-saksi PPP diancam, suara yang diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi
untuk kemenangan Golkar, mesin politik Orde Baru. Jadi kalau ada yang
menyatakan PPP adalah bagian dari Orde Baru sangat tidak beralasan.
Namun
ada fakta yang terbantahkan bahwa dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009
suara PPP selalu turun. Ini merupakan tantangan bagi kepengurusan PPP
yang dihasilkan dalam Muktamar VII/2011. Akankah dalam Pemilu 2014 nanti
PPP akan Berjaya atau sebaliknya akan punah? Pengurus PPP Masa Bakti
2011-2014, juga kader-kader di era itu,akan memikul dosa sejarah yang
tak akan termaafkan jika pada 2014 nanti PPP terkubur.
Untuk
meraih kembali kejayaannya, PPP memproklamirkan diri sebagai “Rumah
Besar Umat Islam.” Menurut Wakil Ketua Umum DPP PPP 2011-2015, Lukman
Hakim Saifuddin, sebagaimana dijelaskan dalam Rapat Pleno DPP PPP
2011-2015, 21-22 Oktober 2011 di Jakarta, setidak-tidaknya ada tiga
pengertian dari “PPP sebagai Rumah Besar Umat Islam”, yaitu:
Pertama,
PPP merupakan tempat kembalinya orang Islam, terutama untuk menyalurkan
aspirasi dan menindaklanjutinya. Sebagaimana kita maklumi, di era
reformasi banyak eksponen PPP yang pindah ke partai lain atau mendirikan
partai baru. Selain itu, banyak organisasi Islam yang merupakan pendiri
atau pendukung PPP yang memberikan dukungan kepada partai politik baru.
Namun, di rumah baru itu banyak eksponen PPP yang mengalami kekecewaan.
Nah, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi mereka yang telah
meninggalkan PPP untuk kembali lagi berjuang bersama PPP dalam
menyalurkan aspirasi umat Islam serta menindaklanjutinya.
Kedua,
PPP merupakan tempat bernaung atau berlindung dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebagaimana kita maklumi, PPP merupakan partai yang
paling gigih memperjuangkan aspirasi umat Islam dari berbagai macam
langkah-langkah berbagai kalangan yang merugikan umat Islam di
Indonesia. Hal ini dilakukan sejak PPP berdiri sampai kini. Sebagai
kompensasi atas berdirinya PPP sebagai partai Islam, maka PPP meredam
keinginan sebagian umat Islam itu sendiri untuk mendirikan negara Islam
atau mengganti Pancasila dengan asas Islam, karena ternyata dalam negara
Pancasila masih dimungkinkan berdirinya partai Islam yang mempunyai
kebebasan memperjuangkan aspirasi umat Islam dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, keberadaan PPP dalam konteks
NKRI sangat penting.
Ketiga,
PPP merupakan tempat untuk menyatukan aspirasi umat Islam dan
menindaklanjutinya, sehingga aspirasi umat Islam dapat terwujud dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dilihat
dari sisi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP,
pernyataan “PPP sebagai rumah besar umat Islam” merupakan penegasan
bahwa PPP merupakan hasil fusi atau gabungan dari beberapa partai
politik Islam melalui sebuah deklarasi bersama pada 5 Januari 1973
(Miladiyah) bertepatan dengan tanggal 30 Dzulqa’dah 1392 (Hijriyah).
Jadi, kekuatan utama PPP terletak pada kemampuannya untuk membangun dan
menggalang kebersamaan di antara partai politik Islam yang melakukan
fusi dalam PPP.
Banyak
yang berpandangan bahwa PPP hanya didirikan oleh 4 partai politik saja,
yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi),
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti). Pandangan itu secara de jure dan de facto salah besar. Secara de jure,
AD/ART PPP tidak pernah menyebut keempat partai Islam itu sebagai
pendiri PPP. AD/ART hanya menyebut bahwa PPP merupakan hasil fusi dari
empat partai politik[1].
Ini berarti paratokoh yang merumuskan Mukaddimah AD/ART itu yang sejak
dulu sampai kini tidak pernah diubah secara substansial menyadari bahwa
selain empat partai politik yang berfusi itu, masih ada organisasi Islam
yang menjadi pendukung dari keempat partai politik itu yang harus
dimasukkan sebagai pendiri PPP.
Masih secara de jure, Khitthah
dan Program Perjuangan PPP juga tidak pernah menyebut keempat partai
Islam itu sebagai pendiri PPP, melainkan menyebutnya sebagai pihak yang
mendeklarasikan PPP[2]. Deklarasi berasal dari kata declare yang berarti mengumumkan, menjelaskan, menyatakan, atau melaporkan. Ini berarti Khitthah
dan Program Perjuangan PPP juga menegaskan bahwa pendiri PPP tidak
hanya terbatas pada deklarator saja, melainkan di balik itu masih ada
organisasi Islam yang turut mendukung dekralasi itu, sehingga deklarasi
itu bisa terlaksana dengan baik.
Masih secara de jure
juga, Keputusan Presiden No. 70 Tahun 1968 yang mengesahkan pendirian
Parmusi juga menegaskan bahwa pendiri partai politik ini adalah 16
organisasi Islam yaitu Muhamamdiyah, Jami’atul Washliyah, Gabungan
Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis),
Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia
(SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI),
Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI),
Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni
Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI),
Al-Irsyad Al-Islamiyah dan Wanita Islam. Setelah Parmusi bergabung
dengan PPP, maka pendiri Parmusi secara otomatis juga merupakan pendiri
PPP.
Hanya
saja karena sebagian besar organisasi Islam pendiri Parmusi itu lebih
mengonsentrasikan diri pada kegiatan sosial kemasyarakatan, sementara
AD/ART dan Khitthah Program Perjuangan PPP berbicara dalam
konteks politik, maka wajar jika yang dinyatakan secara eksplisit hanya
partai Islam yang telah diakui sebagai partai politik, yaitu Partai NU,
Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti.
Ringkasnya, secara de jure
deklator PPP adalah 4 partai politik. Namun pendiri PPP adalah hampir
seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia, terutama NU dan
Muhammadiyah.
Selain itu secara de facto,
klaim bahwa PPP merupakan rumah besar umat Islam akan terwujud jika dua
puluh organisasi Islam itu yaitu 4 partai politik yang menjadi
deklarator serta 16 organisasi Islam yang menjadi pendukung deklarator
memberikan mandate kepada PPP untuk menyalurkan aspirasinya. Begitu pula
sebaliknya, jika kedua puluh organisasi Islam itu tidak memberikan
dukungan kepada PPP, maka klaim PPP sebagai rumah besar umat Islam hanya
pepesan kosong belaka.
Secara de facto
juga, ketika PPP mendapat dukungan dari dua puluh organisasi Islam itu,
PPP berhasil menorehkan sejarah, baik dari sisi kuantitas maupun dari
sisi kualitas. Bersama organisasi Islam, PPP menjadi partai politik yang
gigih memperjuangkan kepentingan politik umat Islam, dengan segala
macam risiko, seperti penahanan, intimidasi, dan bahkan siksaan. Itu
semua dilakukan oleh aktivis PPP karena mereka yakin bahwa apa yang
mereka lakukan sesuai dengan perintah Allah Subhanahu Wata’ala serta sesuai dengan aspirasi umat Islam dan organasisasi Islam.
Konsekwensi
politik dari kenyataan itu adalah fungsionaris PPP di tingkat pusat,
wilayah, cabang, anak cabang, dan ranting harus meningkatkan hubungannya
dengan partai Islam yang menjadi deklarator serta dengan organisasi
Islam yang mendukung atau mendirikan partai deklarator PPP itu. Ini
penting agar PPP tidak kehilangan orientasi dan pijakan sejarahnya.
Selain
itu, fungsionaris PPP sesuai dengan tingkatannya tidak perlu ragu-ragu
untuk mengangkat aktivis organisasi Islam sebagai pengurus PPP, sehingga
PPP betul-betul dapat menyuarakan kepentingan umat Islam karena dikawal
oleh orang-orang yang paham akan aspirasi dan perjuangan umat Islam
Indonesia. Bahkan, fungsionaris PPP di berbagai tingkatannya harus
memberikan ruang kepada organisasi Islam untuk dicalonkan oleh PPP
sebagai anggota DPR/DPRD bahkan juga sebagai pejabat publik lainnya.
PPP
tidak boleh hanya terpaku pada “kader jenggot” yaitu kader yang hanya
terpampang namanya sebagai pengurus PPP, namun dalam praktiknya tidak
pernah memberikan sumbangsih kepada PPP. Lebih baik mencalonkan aktivis
organisasi Islam sebagai pejabat publik yang telah memberikan sumbangsih
kepada organisasi Islamnya daripada mencalonkman kader PPP tidak jelas
modal sosial dan sumbangsihnya kepada Islam dan umat Islam. Al-Qur’an
menyatakan: khairun nas, anfa’uhum lin nas. Kalau diterjemahkan
dalam konteks pencalonan, sebaik-baiknya orang yang berhak dicalonkan
sebagai pejabat publik oleh PPP adalah orang yang memberikan sumbangsih
besar kepada umat Islam, baik melalui PPP atau melalui organisasi Islam
lainnya.
Dengan
modal sejarah itu seharusnya pengurus PPP di berbagai tingkatan dapat
menghimpun dan merangkul seluruh potensi dan kekuatan umat Islam
Indonesia dalam rangka menegakkan perjuangan para pahlawan yaitu
menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Negara yang
adil makmur). Kader-kader PPP tidak boleh egois dengan menjadikan PPP
sebagai miliknya sendiri, lalu menghalangi masuknya kader umat terbaik
yang belum sempat bergabung dengan PPP. Jika hal ini terjadi, maka kader
itu telah melupakan sejarah PPP bahwa PPP adalah milik seluruh umat
Islam, sehingga seluruh umat Islam juga kader PPP. “Jasmerah, Jangan
sekali-kali melupakan sejarah,” demikian pesan Bung Karno.
Diolah dari berbagai sumber
[1] Alinea kedua Mukaddimah AD/ART menyatakan: “Untuk itu, dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala,
partai-partai politik yang berasas Islam yang terdiri atas Partai
Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam
Indonesia, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah, melalui
deklarasi tanggal 5 Januari 1973 bertepatan dengan tanggal 30 Dzulqa’dah
1392 H, memfusikan kegiatan politiknya dalam satu partai politik yang
bernama Partai Persatuan Pembangunan.”
[2] Dalam Khitthah
dan Program Perjuangan PPP dikatakan: “Untuk itu, dengan niat beribadah
kepada Allah Subhanahu Wata’ala, partai-partai politik yang berasas
Islam yang terdiri atas Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin
Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Islam Persatuan
Tarbiyah Islamiyah, melalui deklarasi tanggal 5 Januari 1973 bertepatan
dengan tanggal 30 Dzulqa’dah 1392 H, memfusikan kegiatan politiknya
dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan...”
Deklarasi PPP
DEKLARASI
Keempat
Partai Islam: NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI yang sampai sekarang ini
tergabung dalam bentuk konfederasi kelompok Partai Persatuan
Pembangunan, dalam Rapat Presidium Badan Pekerja dan Pimpinan Fraksi
tanggal 5 Januari 1973, telah seia sekata untuk memfusikan politiknya
dalam satu partai politik bernama Partai Persatuan Pembangunan.
Segala
kegiatan yang bukan kegiatan politik, tetap dikerjakan organisasi
masing-masing sebagaimana sediakala, bahkan lebih ditingkatkan sesuai
dengan partisipasi kita dalam pembangunan spirituil/materiil.
Untuk
merealisasikan kesepakatan ini telah dibentuk team untuk mempersiapkan
segala sesuatunya yang diperlukan oleh Partai Persatuan Pembangunan,
baik organisatoris maupun politis.
Kemudian
hasil dari pekerjaan team dilaporkan Presidium untuk selanjutnya
disampaikan kepada dan disahkan oleh suatu musyawarah yang lebih
representatif yang Insya Allah akan diadakan selambat-lambatnya awal
Februari 1973.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan hidayah-Nya. Amin.
Jakarta, 5 Januari 1973
PRESIDIUM KELOMPOK
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
Ttd,
KH. Dr. Idham Khalid
HMS. Mintaredja
H. Anwar Tjokroaminoto
Rusli Halil
KH. Masykur
Catatan:
Bagi rekan-rekan yang mempunyai catatan sejarah PPP yang perlu
dimasukkan sebagai bagian dari "Sejarah PPP" tolong dikirim ke:
berbaik@gmail.com, lengkap dengan buku rujukan/referensi. Jazakumullah khairan kastiran...
JATI DIRI PPP
I. Cita-cita dan Visi Partai
Cita-cita
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah merealisasikan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
yang berupa: “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial.”
Untuk
itu, maka PPP merumuskan visi tentang kehidupan beragama, kehidupan
berpolitik, kehidupan berekonomi, dan kehidupan bermasyarakat. Dalam
kehidupan beragama, PPP berkeyakinan bahwa agama adalah sumber kekuatan
rohani, moral dan etika, sumber inspirasi, serta sumber motivasi yang
dapat menjadi pedoman bagi seluruh manusia. Menyadari bahwa di Indonesia
terdapat berbagai agama, PPP memperjuangkan terjaminnya “kebebasan
untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu,” seperti tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Ini
sesuai dengan prinsip ajaran Islam lakum diinukum waliyadiin (bagimu
agamamu, bagiku agamaku). Dalam hubungan internal dan antar umat
beragama, PPP memperjuangkan toleransi bermadzhab dan dilandasi dengan
nilai-nilai akhlaq al karimah (akhlak mulia). PPP berkewajiban merealisasikan berlakunya syariat Islam tanpa mengurangi toleransi kepada agama lain.
Dalam
kehidupan berpolitik, PPP berpendapat bahwa nilai-nilai etika politik
perlu ditegakkan, hak-hak politik rakyat yang dijamin UUD 1945 perlu
dihargai dan dilindungi, termasuk penyaluran aspirasi politiknya.
Sejalan dengan itu, PPP berkeyakinan bahwa demokrasi hanya mungkin dapat
ditegakkan atas dasar negara hukum (rechstaat) dan bukan atas dasar negara kekuasaan (machstaat).
Kekuasaan harus dibatasi dengan penegakan hukum dan keadilan serta
perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan.
Dalam
kehidupan berekonomi, PPP mencita-citakan tegaknya asas “demokrasi
ekonomi” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pembangunan
ekonomi haruslah mengutamakan kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran
orang seorang. Untuk itu, cabang-cabang produksi yang penting yang
menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan
rakyat banyak ditindasnya. Dalam kaitan itu, tatanan ekonomi yang
berintikan sistem ekonomi kerakyatan harus mampu memberikan dan
kesempatan yang adil bagi semua anggota masyarakat untuk bergerak dalam
bidang perekonomian. Harus dicegah timbulnya jurang pemisah antara yang
kaya dan yang miskin. Di lain pihak, kehidupan ekonomi yang bersifat
monopoli dan konglomerasi yang merugikan rakyat dan perekonomian
nasional harus dihindarkan sehingga kesejahteraan yang lebih merata
dapat diwujudkan. Harta kekayaan tidak boleh hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja. Dalam hubungan ini, lembaga-lembaga ekonomi,
keuangan, dan perbankan serta pranata-pranata ekonomi lain yang Islami
perlu terus didorong pengembangannya.
Usaha-usaha
peningkatan kesadaran mengeluarkan sebagian kekayaan untuk kepentingan
umum dari kalangan yang berhasil secara ekonomis perlu dilakukan secara
terus menerus, misalnya dalam bentuk wakaf, zakat, infaq, dan sadaqah.
Karena, dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin yang harus
dilindungi dan ditingkatkan kesejahteraannya, dengan memperhatikan
harkat dan martabatnya. Upaya tersebut harus menjadi perhatian yang
sungguh-sungguh dari semua pihak.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, PPP memandang perlu ditumbuhkembangkannya
budaya saling harga menghargai dan saling sayang menyayangi yang pada
gilirannya akan meningkatkan rasa aman, memelihara hubungan kemanusiaan (ukhuwwah),
dan meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Perbedaan pendapat di kalangan sesama umat haruslah dilihat sebagai
rahmat. Dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan sejalan dengan sunnatullah,
PPP mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban yang seimbang antara
kaum laki-laki dan kaum perempuan, dan menolak segala bentuk
diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan ini. PPP berusaha agar
kesempatan memperoleh pendidikan terbuka seluas-luasnya bagi seluruh
anggota masyarakat, sehingga memungkinkan lahirnya manusia Indonesia
yang beriman dan bertaqwa, berkualitas tinggi, yang sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warganegara.
II. Prinsip Perjuangan
Untuk
menggapai cita-sita dan visi di atas, PPP merumuskan prinsip perjuangan
partai yang membingkai seluruh aktivitas partai, kader, dan
simpatisannya. Prinsip perjuangan itu adalah:
1.Prinsip Ibadah
PPP
dalam perjuangannya selalu berupaya mendasarinya dengan prinsip ibadah.
Perjuangan yang didasarkan pada prinsip beribadah dalam arti yang
seluas-luasnya adalah untuk mencapai keridhaan Allah Subhanahu wata’ala.
Dengan demikian, kegiatan berpolitik seluruh jajaran Partai seyogyanya
merupakan keterpanggilan untuk beribadah.
2.Prinsip Istiqamah
PPP
menjadikan prinsip istiqamah atau konsistensi menjadi prinsip
perjuangan. Karena, atas dasar istiqamah sebagai nilai-nilai dasar
perjuangan Partai, maka keberhasilan perjuangan akan dapat dicapai.
Prinsip istiqamah itu akan terus ditegakkan dan dimantapkan dalam
perjuangan Partai dalam konteks perjuangan bangsa untuk mencapai
cita-cita nasional.
3.Prinsip Kebenaran, Kejujuran, dan Keadilan
Perjuangan
PPP selalu didasarkan pada penegakan dan pembelaan prinsip kebenaran
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan prinsip
kebenaran ini, perjuangan Partai mengarah pada perlawanan terhadap
kebatilan, karena kebenaran berhadapan secara diametral dengan
kebatilan. Meskipun begitu, kebenaran yang menjadi prinsip Perjuangan
Partai bukanlah kebenaran yang mutlak. Hanya Allah Subhanahu wata’ala
yang Maha Benar. Karena itu, sepanjang kebenaran itu masih bersifat
manusiawi, kebenaran itu bukanlah monopoli siapapun.
Prinsip
kejujuran atau amanah ini bersifat sentral dan esensial dalam
perjuangan PPP. Dengan prinsip kejujuran ini, perjuangan dalam bentuk
apa pun, akan menjamin tegaknya saling pengertian, keharmonisan,
keserasian, dan ketenteraman. Prinsip kejujuran ini merupakan syarat
utama penunaian amanah dan kepercayaan rakyat yang perlu terus dijaga,
sehingga terhindar dari perbuatan yang mengkhianati amanah rakyat.
PPP
akan tetap mempertahankan dan memperjuangkan nilai keadilan di dalam
tiap gerak langkah perjuangannya. Tegaknya keadilan (justice) adalah
esensial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan
prinsip keadilan maka segala aturan dapat terlaksana dan berjalan baik,
sehingga dapat menimbulkan keharmonisan, keserasian, keseimbangan,
ketenteraman, dan sekaligus akan menghilangkan kedzaliman, kesenjangan,
keresahan, dan konflik.
4.Prinsip Musyawarah
PPP
berpendirian bahwa musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan prinsip
dasar dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang mencerminkan
nilai-nilai budaya bangsa yang perlu terus ditumbuhkembangkan. Dengan
musyawarah dapat dipelihara sikap saling pengertian, saling menghargai,
dan menjamin kemantapan hasilnya serta menumbuhkan tanggungjawab
bersama, sehingga demokrasi yang sejati dapat terwujud dengan baik dan
nyata. Di samping itu, keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila dengan musyawarah tidak dapat dicapai mufakat, maka tidak
tertutup kemungkinan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, namun
harus dicegah adanya diktator mayoritas.
5.Prinsip Persamaan, Kebersamaan, dan Persatuan.
PPP
mendasarkan perjuangannya atas dasar prinsip persamaan derajat manusia
di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Ini adalah keyakinan yang mendasar,
yang dapat memberikan motivasi perjuangan kepada seluruh jajaran
Partai, sehingga terhindar dari bahaya kultus individu dan
neo-feodalisme yang dapat memerosotkan kualitas kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sedangkan dengan prinsip kebersamaan, PPP
berjuang untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan dalam memikul beban
dan tanggung jawab kenegaraan, pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan secara proposional, sehingga terhindar dari dominasi,
perasaan ditinggalkan, dan dikucilkan. Di samping itu, perjuangan PPP
juga didasarkan atas prinsip menegakkan dan mempertahankan persatuan dan
kesatuan bangsa, sehingga terhindar dari bahaya disintegrasi dan
perpecahan.
PPP
berprinsip bahwa persamaan, kebersamaan, dan persatuan adalah
nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi dan harus berjalan
seimbang. Keberhasilan perjuangan partai dalam membawa bangsa Indonesia
menuju pencapaian cita-cita nasional akan dapat terwujud dengan
terlaksananya prinsip persamaan, kebersamaan, dan persatuan secara
partisipatoris. Karena itu, prinsip ini perlu dipelihara terus-menerus
serta diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata dalam memikul beban dan
tanggung jawab untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih cerah di
masa mendatang.
6.Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
PPP
mendasarkan perjuangannya atas prinsip menyeru dan mendorong untuk
melaksanakan segala perbuatan yang baik serta mencegah segala perbuatan
yang tercela. Prinsip ini juga menjadi landasan perjuangan dalam
melaksanakan fungsi untuk menyerap, menampung, menyalurkan,
memperjuangkan, dan membela aspirasi rakyat dan melaksanakan pengawasan
atau kontrol sosial.
Dengan
prinsip ini Partai berusaha untuk mendorong budaya kritis dalam
kehidupan masyarakat, sehingga tidak terjadi apa yang disebut political
decay (pembusukan politik) yang diakibatkan oleh sikap membiarkan
kemunkaran yang lebih jauh dapat merusak tatanan masyarakat secara
keseluruhan.